Penerapan Uang Pengganti Sebagai Terobosan Pemulihan Kerugian Perekonomian Negara

Penerapan Uang Pengganti Sebagai Terobosan Pemulihan Kerugian Perekonomian Negara

Jaksa Agung ST Burhanuddin menyatakan perlu penyamaan persepsi dan terobosan hukum terkait penerapan uang pengganti dalam tindak pidana korupsi terkait pemulihan kerugian perekonomian negara.

Sementara, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Dr. Febrie Adriansyah, dalam sesi diskusi Focus Group Discussion (FGD) bertema “Optimalisasi Pidana Tambahan Pembayaran Uang Pengganti Dalam Rangka Pemulihan Dampak Tindak Pidana Korupsi” yang digelar di The Dharmawangsa Hotel, Jakarta, Selasa 28 November 2023, mengatakan perlunya terobosan hukum untuk pemulihan kerugian perekonomian negara.

Dia mencontohkan kasus korupsi kelapa sawit, importasi tekstil, importasi baja, dan perkara korupsi Crude Palm Oil (CPO). Dalam kasus itu, pengadilan sepakat unsur kerugian perekonomian negara terbukti secara sah dan meyakinkan. Namun, majelis hakim tidak sepakat bila perekonomian negara dibebankan kepada terdakwa.

“Untuk itu perlu adanya penyamaan persepsi karena kita butuh terobosan hukum, karena korupsi itu menyengsarakan rakyat,” ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus.

Kejaksaan RI telah berusaha membuktikan unsur merugikan perekonomian negara dalam perkara korupsi sejak tahun 1980-an, yaitu pada perkara korupsi terdakwa Tony Gosal. Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung, unsur perekonomian negara terbukti sebagaimana tertuang dalam putusan tersebut.

Selain itu, salah satu konsep dalam hukum lingkungan, yaitu asas “Pencemar yang Membayar”, artinya dalam konsep penerapan uang pengganti semestinya berpedoman pada penerapan konsep pertanggungjawaban absolut. Artinya, terdakwa serta merta menanggung akibat perbuatan pidana tersebut.

Sementara, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, H. Suharto, mengatakan bahwa kerugian negara telah dibahas dalam kamar pidana. Persoalan ini masih dalam pembahasan dan belum tercapai kesepakatan di antara para Hakim Agung.


Sedangkan, Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, selaku Penanggap, menyatakan unsur merugikan perekonomian negara merupakan unsur yang sifatnya futuristik.

“Tetapi, aparat penegak hukum terkadang tidak mau bertindak futuristik. Padahal, praktik di Anglosaxon pembuktian biaya sosial tindak pidana sudah diterapkan,” ujar Prof. Indriyanto.


Prof. Indriyanto menambahkan, memang masih terjadi perbedaan pemahaman kerugian perekonomian negara sebagai actual lose atau potential lose. Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan lebih pasti dalam peraturan perundang-undangan.

Ahli Perekonomian Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Rimawan Pradiptyo, menuturkan, keuangan negara tidak dikenal dalam ilmu ekonomi, melainkan yang dikenal ialah keuangan pemerintah. Itu artinya, keuangan pemerintah merupakan bagian dari perekonomian negara.


“Oleh karena itu, mestinya cukup dibuktikan kerugian perekonomian negara. Tidak tepat dengan perumusan alternatif antara keuangan negara atau perekonomian negara karena kedua unsur tersebut tidaklah setara. Secara ekonomi, kerugian perekonomian negara merupakan kegiatan yang nyata dan pasti (actual lose),” ujar Rimawan Pradiptyo.

Sementara, Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dr. Febby Mutiara Nelson, mengatakan, perdebatan mengenai kerugian perekonomian negara muncul karena terjadinya perbedaan definisi kerugian antara hukum perdata, administrasi, hukum pidana, ataupun ekonomi. Oleh karenanya, definisi perekonomian negara terlalu luas dan sulit dibuktikan.

“Ada persoalan pada unsur merugikan perekonomian negara, sehingga dirasa perlu perbaikan rumusan kerugian perekonomian negara. Pada rumusan tersebut, diperlukan juga pendekatan economic analysis of law dalam upaya optimalisasi uang pengganti dengan menggunakan pertanggungjawaban pidana korporasi (menggunakan mekanisme DPA) atau bisa juga dengan penerapan denda damai untuk delik tertentu dalam bidang tindak pidana ekonomi,” ujar Dr. Febby Mutiara Nelson.

Sedangkan, Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, selaku Ketua Panitia FGD, Hendro Dewanto, menyatakan bahwa dalam praktik peradilan sudah sepakat bahwa kerugian perekonomian negara telah dibuktikan, maka perlu terobosan hukum dalam penerapan pembebanan uang pengganti secara optimal.

“Penerapan tersebut perlu dimulai dengan putusan pengadilan yang progresif, dengan putusannya memperluas makna uang pengganti,” ujar Direktur Penuntutan.

Artikel ini ditulis oleh
Eko Huda Setyawan

Editor Eko Huda Setyawan

This is notes

Reporter