Penjelasan Lengkap soal Carbon Capture and Storage yang Ditanyakan Gibran ke Mahfud MD
Sistem carbon capture and storage (CCS) mencuat dalam debat perdana calon wakil presiden yang digelar pada Jumat (22/12) di Jakarta Convention Center (JCC).
CCS ini menjadi bahan pertanyaan bagi Calon Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kepada Calon Wakil Presiden Mahfud MD.
"Prof Mahfud, saya ingin bertanya bagaimana regulasi untuk carbon capture and storage?" tanya Gibran kepada Mahfud.
Sistem CCS ini menjadi komoditas yang akan diunggulkan pemerintah sebagai jalan baru bagi investor untuk menaruh investasi mereka. Namun sebenarnya, sistem CCS ini bukanlah hal baru.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjelaskan, CCS merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer.
Merujuk National Grid, ada tiga tahapan dalam proses CCS:
1. Menangkap karbon dioksida untuk disimpan
CO2 dipisahkan dari gas lain yang dihasilkan dalam proses industri, seperti yang dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar batu bara dan gas alam, atau pabrik baja atau semen.
2. Transportasi
CO2 kemudian dikompresi dan diangkut melalui pipa, transportasi jalan raya atau kapal ke lokasi penyimpanan.
3. Penyimpanan
Terakhir, CO2 disuntikkan ke dalam formasi batuan jauh di bawah tanah untuk penyimpanan permanen.
Kemungkinan lokasi penyimpanan emisi karbon mencakup akuifer garam atau reservoir minyak dan gas yang sudah habis, yang biasanya berada pada kedalaman 0,62 mil (1 km) atau lebih di bawah tanah.
Sebagai contoh, lokasi penyimpanan untuk proyek Zero Carbon Humber di Inggris adalah akuifer garam bernama ‘Endurance’, yang terletak di bagian selatan Laut Utara, sekitar 90 km lepas pantai.
Daya tahannya berada sekitar 1 mil (1,6 km) di bawah dasar laut dan berpotensi menyimpan CO2 dalam jumlah yang sangat besar.
Demikian pula, di AS terdapat beberapa lokasi karbon berskala besar seperti Proyek Citronelle di Alabama. Tempat penyuntikan reservoir garam ini memiliki kedalaman sekitar 1,8 mil (2,9 km).
Menurut International Energy Agency (IEA), volume emisi CO2 akibat pembakaran bahan bakar fosil mencapai 56 persen dari total semua emisi global.
Persentase ini berasal dari sekitar 7500 instalasi besar peng-emisi CO2 (large stationary point sources) yang mengemisikan lebih dari 1000.000 ton CO2 setiap tahunnya.
Kajian IEA lebih lanjut menyimpulkan bahwa dari jumlah tersebut, pembangkit listrik batubara (PLTU) merupakan sumber emisi utama yang mencapai lebih dari 60 persen. Selanjutnya PLTG yang mencapai 11 persen dan PLTD 7 persen. Sementara itu, industri lain menyumbang sekitar 3-7 persen.
Memang, upaya ini tidak semudah yang dibayangkan mengingat gas buang tersebut pada umumnya memiliki karakteristik bertekanan rendah dan konsentrasi CO2 yang rendah juga, sehingga memerlukan proses tambahan yang membutuhkan energi cukup besar untuk pemisahannya.
Kenyataan ini menjadikan tantangan ke depan yang harus diantisipasi agar dapat menciptakan proses penangkapan CO2 yang efektif dan efisien.
Walaupun secara umum teknologi CCS ini cukup menjanjikan untuk dipergunakan dalam menangani sumber emisi CO2 yang besar seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau industri besar lainnya, masih banyak hal-hal yang perlu diselesaikan sebelum CCS dapat diterapkan secara penuh, seperti perbaikan teknologi, legalisasi dan pembiayaan.
Editor Idris Rusadi Putra
This is notes