Tidak hanya orang Jawa yang memiliki budaya Nyambat, melainkan warga Betawi juga melakukan hal ini sejak zaman nenek moyang.
Namun tradisi Nyambat yang dimiliki warga Betawi bukanlah bentuk ekspresi kekesalan maupun mengeluh, melainkan sebuah aktivitas sosial gotong royong.
Menurut Abdul Chaer dalam bukunya yang berjudul Betawi Tempo Dulu: Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi disampaikan bahwa Nyambat memiliki nilai sosial yang baik sebagai salah satu kearifan lokal.
Tradisi ini akan meringankan warga yang sedang memiliki hajat atau kegiatan yang berat, dengan adanya keterlibatan dari para tetangga. Berikut informasi selengkapnya:
Mengajak tetangga untuk meringankan pekerjaan yang dimiliki seseorang
Dari segi bahasa, Nyambat sendiri merupakan upaya ajakan meminta bantuan tetangga dari seseorang yang tengah memiliki suatu pekerjaan berat.
Ajakan ini biasanya meliputi pekerjaan membajak sawah, mendirikan rumah dan yang berkaitan dengan kebutuhan tenaga banyak.
“Semua pekerjaan dalam Nyambat dilakukan secara sukarela, ikhlas dan tanpa dibayar atau membayar. Namun yang mengajak biasanya menyediakan makanan dan minuman seadanya,” kata Abdul Chaer dalam bukunya.
Popular di kalangan warga Betawi sampai tahun 1950-an
Tradisi ini sebelumnya sempat popular sejak puluhan tahun silam oleh kalangan warga Betawi setidaknya sampai tahun 1950-an.
Gambar: rumah Betawi biasanya dibangun lewat kegiatan Nyambat.
Warga akan beramai-ramai membantu tetangganya menyelesaikan pekerjaan yang sekiranya sukar dirampungkan seorang diri.
Yang menarik terjadi kegiatan saling memberi antar para tetangga, di mana yang membantu justru akan membawa makanan atau minuman agar mereka bisa semangat bekerja untuk menyelesaikan hajat tersebut.
Hanya mengerjakan hal-hal yang berat
Menurut Chaer, pekerjaan Nyambat di kalangan warga Betawi biasanya tidak dilakukan sampai selesai. Artinya si pemilik hajat atau pekerjaan akan meminta bantuan kepada tetangga untuk menyelesaikan target-target yang berat saja.
Sebagai contoh, dalam pekerjaan membuat rumah, biasanya akan disampaikan batasan-batasan pekerjaan yang harus diselesaikan, mulai dari memasang pondasi, tiang-tiang utama sampai memasang rangka kuda-kuda.
“Penyelesaian rumah kemudian dilanjutkan oleh tukang yang hanya dua sampai tiga orang saja,” katanya lagi.
Melibatkan kaum perempuan
Yang menarik turut dilibatkan kaum perempuan dalam kegiatan Nyambat oleh masyarakat Betawi tempo dulu. Seperti saat menggelar kegiatan pertanian menanam padi di sawah alias nandur.
Pekerjaan ini dilakukan suka rela di sawah-sawah milik warga yang butuh digarap.
“saat panen juga dilakukan Nyambat, dan semua warga boleh ikut memotong batang padi. Nantinya ada perjanjian bagi hasil yang disebut maroan atau separuh dari hasil penjualan akan diberi ke warga,” kata Chaer.
Tradisi Nyambat hilang karena modernisasi
Di bukunya Chaer menuliskan bahwa saat ini tradisi Nyambat sudah hilang. Kondisi ini terjadi akibat modernisasi dan perubahan kultur sosial di kalangan warga Betawi itu sendiri.
Sebagai contoh dalam pembuatan rumah. Chaer mengatakan bahwa saat ini warga Betawi sudah tidak menggunakan tiang-tiang kayu dan struktur kuda-kuda yang mengharuskan dikerjakan secara bersama-sama.
Rumah-rumah masa kini sudah dibangun menggunakan semen dan beton, sehingga bisa dikerjakan oleh tukang dengan cepat dan efisien.
“Setelah tahun 1950, rumah Betawi banyak yang dibangun menggunakan semen dan tegel. Sawah-sawah juga diurug untuk dijadikan bangunan, sehingga tidak ada lagi media untuk melestarikannya,” jelas Chaer dalam bukunya.
Editor Nurul Diva Kautsar
This is notes