Menguak Sejarah Naskah Merapi-Merbabu,  Ternyata Beda dengan Naskah Jawa

Menguak Sejarah Naskah Merapi-Merbabu, Ternyata Beda dengan Naskah Jawa

Keberadaan naskah itu membuktikan bahwa dulu di lereng Merapi-Merbabu terdapat komunitas sastrawan yang besar

Masyarakat Jawa memiliki peradaban yang besar dan punya sejarah yang panjang. Namun di balik peradabannya yang besar, masih ada sub-peradaban kecil pada kelompok masyarakat tertentu yang tinggal di pedalaman.

Salah satunya adalah peradaban masyarakat yang tinggal di kawasan Gunung Merapi-Merbabu. Bahkan pada masa lampau mereka punya aksara sendiri yang berbeda dari aksara Jawa yang selama ini kita kenal.

Sayang kejayaan peradaban masyarakat Merapi-Merbabu saat ini seolah lenyap ditelan zaman. 

Salah satu peradaban itu berbentuk sebuah naskah yang ditulis di atas daun lontar dan memuat berbagai bahasan. Seperti apa sejarah naskah Merapi-Merbabu? Berikut selengkapnya:

Dikutip dari Wikipedia, naskah-naskah Merapi-Merbabu adalah kumpulan naskah yang ditemukan di kawasan pegunungan Merapi dan Merbabu, Jawa Tengah. Naskah-naskah ini umumnya ditulis dalam aksara Buda. Sebagian besar naskah ditulis di atas daun lontar dan sedikit di antaranya menggunakan nipah.

Informasi mengenai naskah-naskah ini pertama kali ditemukan dalam laporan statistik tanggal 12 Agustus 1823, tepatnya pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal der Capellen.

Naskah-naskah kuno itu milik Keluarga Pak Kojo, cicit Panembahan Windoesono, seorang pendeta Budha.

Pada tahun 1822, Panembahan WIndoesono menyingkir ke lereng barat Gunung Merbabu, tepatnya di Desa Kedakan. Saat itu ia membawa 1.000 naskah. Namun seiring perjalanan waktu, naskah itu kini hanya tinggal 400. 

Tiga puluh tahun kemudian, Bataviaasch Genootshap berusaha untuk memperoleh naskah tersebut.

Namun Pak Kojo sangat sulit melepaskan naskah-naskah itu. Akhirnya, berdasarkan laporan tertanggal 27 April 1852, usaha pengambilan naskah-naskah itu akhirnya berhasil.

Sejak saat itu naskah tersebut tersimpan rapi di Bataviaasch Genoostshap.

Naskah-naskah Merapi Merbabu memiliki banyak bentuk di antaranya kakawin, parwa, dan kidung.

Topik pembahasan dalam naskah itu juga beragam seperti perbintangan, yoga, matra, dan obat-obatan. Naskah yang mengangkat tema ajaran Buddha salah satunya tentang Kunjarakarna.

Naskah yang bertema Islam juga ditemukan di antaranya Tapel Adam, Anbiya, dan Caritaning Para Nabi.

Dikutip dari Wikipedia, adanya naskah-naskah Merapi Merbabu membuktikan bahwa komunitas sastra yang makmur pernah hidup di kawasan tersebut.

Karya-karya mereka pun mengilhami budaya sastra yang unggul di Kraton Kartasura, Surakarta, dan Yogyakarta.

Sebagai contoh, naskah Arjunawiwaha dari Merapi-Merbabu banyak digubah oleh para pujangga kraton Surakarta pada abad ke-18 hingga 19 Masehi.

Dikutip dari Etnis.id, aksara yang terdapat pada naskah Merapi-Merbabu ada dua, yang pertama adalah aksara Jawa Baru seperti yang dikenal saat ini (ha na ca ra ka) dan aksara Merapi Merbabu.

Prof Williem van der Molen, seorang filolog Belanda, berpendapat bahwa aksara Merapi-Merbabu bukanlah berasal dari gaya Majapahit, namun jauh sebelum itu, tepatnya lebih pada gaya aksara Mataram Kuno.

Dikutip dari budaya-indonesia.org, aksara Jawa merupakan turunan dari aksara Kawi (Jawa Kuno). 

Di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah, ada dua aksara turunan Kawi. yang pertama adalah aksara Budha di wilayah sekitar gunung merapi-Merbabu yang mempunyai bentuk yang relatif hampir tak berubah banyak dari aksara Kawi.

Lalu yang kedua adalah aksara Jawa yang berkembang di wilayah Demak-Pajang-Mataram-Kartosura-Surakarta-Yogyakarta yang mempunyai bentuk yang sudah berubah banyak dari aksara Kawi.


Walaupun penggunaan aksara Jawa berkembang pesat, khususnya di Kasultanan Yogyakarta, Surakarta, maupun daerah pesisir utara Jawa, namun masyarakat lereng Merapi-Merbabu tetap menggunakan aksara mereka, yaitu aksara Merapi-Merbabu. Hal ini bahkan masih ditemukan hingga abad ke-18.

Namun menurut peneliti Van Der Molen, setelah abad ke-18, aksara Merapi-Merbabu tidak lagi digunakan karena sudah tidak ada lagi penggunanya

Artikel ini ditulis oleh
Shani Ramadhan Rasyid

Editor Shani Ramadhan Rasyid

This is notes

Reporter