Pewarna alami dalam industri makanan dan kosmetik sering kali menjadi perdebatan, terutama bagi umat Islam yang mengutamakan kehalalan produk yang mereka konsumsi.
Salah satu pewarna alami yang sering digunakan adalah karmin, yang dihasilkan dari serangga Cochineal. Dalam artikel ini, kita akan membahas hukum penggunaan karmin sebagai pewarna makanan dan kosmetik menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pandangan Nahlatul Ulama (NU) Jatim.
Karmin adalah pewarna alami yang dihasilkan dari tubuh betina serangga Cochineal yang dikeringkan dan dihancurkan. Pewarna ini mengandung senyawa asam karminat yang memberikan warna merah cerah.
Karmin digunakan dalam berbagai produk, mulai dari makanan seperti permen, minuman ringan, yogurt, hingga kosmetik, terutama lipstik. Bahkan, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) telah mengizinkan penggunaan karmin dalam regulasi makanan internasional.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana hukum penggunaan karmin dalam Islam? Menurut Fatwa MUI, penggunaan karmin yang berasal dari serangga Cochineal dianggap halal. Keputusan ini dikeluarkan oleh MUI pada tahun 2011 melalui Keputusan Komisi Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011.
Fatwa ini didasarkan pada beberapa dalil, salah satunya adalah hadis yang menyebutkan bahwa ikan dan belalang adalah dua bangkai yang dihalalkan bagi umat Muslim. Karena serangga Cochineal mirip dengan belalang dan darahnya tidak mengalir, MUI menganggap pewarna karmin yang berasal dari serangga ini halal, asalkan pewarna tersebut bermanfaat dan tidak membahayakan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam produksi pewarna karmin, seringkali digunakan bahan tambahan seperti bahan pelarut, bahan pelapis, dan bahan pengemulsi. Beberapa dari bahan tambahan ini bisa berasal dari hewan, seperti gelatin yang digunakan sebagai bahan pelapis.
Oleh karena itu, MUI menekankan bahwa bahan tambahan tersebut juga harus berasal dari hewan yang halal dan diproses secara halal. Hal ini penting untuk memastikan bahwa produk akhir tetap sesuai dengan prinsip-prinsip halal dalam Islam.
Sementara itu, pandangan Nahlatul Ulama (NU) Jatim tentang penggunaan karmin sebagai pewarna makanan dan kosmetik berbeda. Menurut Bahtsul Masail NU Jatim, pewarna karmin yang berasal dari serangga dianggap haram dan najis untuk dikonsumsi.
Keputusan ini berdasarkan pandangan dalam Madzhab Syafi'i yang memandang bahwa bangkai serangga (hasyarat) dianggap najis dan menjijikkan. Oleh karena itu, konsumsi produk yang mengandung pewarna karmin dari serangga dilarang dalam pandangan Madzhab Syafi'i yang dianut oleh NU Jatim.
Namun, perlu diingat bahwa terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab fikih dalam Islam. Sebagian mazhab, seperti Madzhab Maliki, memiliki pandangan yang berbeda tentang konsumsi bangkai serangga.
Di Indonesia, produk makanan dan minuman yang dijual bebas harus memenuhi persyaratan kehalalan, mengingat mayoritas penduduknya adalah umat Islam. MUI menjelaskan bahwa pewarna karmin yang berasal dari serangga Cochineal dianggap halal, selama pewarna tersebut bermanfaat dan tidak membahayakan.
Namun, penting untuk memahami bahwa penggunaan pewarna karmin juga melibatkan bahan tambahan seperti pelarut, pelapis, dan pengemulsi, yang bisa berasal dari hewan.
Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa bahan tambahan tersebut juga berasal dari hewan yang halal dan diproses secara halal.
Untuk lebih memahami pewarna karmin, kita dapat melihat proses produksinya. Serangga Cochineal hidup di atas kaktus pir berduri dan makan pada kelembaban dan nutrisi tanaman. Serangga ini memiliki kesamaan dengan belalang dan darahnya tidak mengalir.
Proses produksi pewarna karmin melibatkan beberapa langkah, mulai dari pasangan serangga pada kaktus hingga pengeringan dan penghancuran. Serangga Cochineal dikeringkan dan dihancurkan menjadi serbuk berwarna merah tua. Untuk memunculkan warna yang diinginkan, serbuk ini biasanya dicampur dengan larutan alkohol asam.
Penggunaan karmin sebagai pewarna makanan dan kosmetik menjadi perdebatan dalam pandangan Islam. Fatwa MUI menganggap penggunaan karmin halal, asalkan pewarna tersebut bermanfaat dan tidak membahayakan, serta bahan tambahan yang digunakan juga berasal dari hewan halal dan diproses secara halal.
Sementara itu, pandangan NU Jatim menganggap karmin haram berdasarkan pandangan Madzhab Syafi'i yang dianut. Bagi masyarakat Indonesia, kehalalan produk makanan dan minuman adalah hal yang penting, dan MUI telah menjelaskan bahwa karmin yang berasal dari serangga Cochineal dianggap halal, selama memenuhi persyaratan kehalalan.
Dalam memahami hukum penggunaan pewarna karmin, penting untuk memperhatikan pandangan agama dan regulasi yang berlaku serta memastikan bahwa bahan tambahan yang digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip halal dalam Islam.
Dalam memahami hukum penggunaan pewarna karmin, penting untuk memperhatikan pandangan agama dan regulasi yang berlaku serta memastikan bahwa bahan tambahan yang digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip halal dalam Islam.
Editor Titah Mranani
Karmin adalah pewarna alami yang dihasilkan dari tubuh betina serangga Cochineal yang dikeringkan dan dihancurkan.